Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya. Sampai pada suatu hari…
Dengan seizin Mas Adit, sore itu aku berangkat ke rumah Mama, yang letaknya sekitar 30 kilometer dari rumahku. Sengaja aku tidak menelepon Mama dulu, karena ingin membuat surprise.
Setibanya di rumah Mama, malah Papa tiriku yang asli Jerman itu yang membuka pintu depan.
“Davira?!” tanya lelaki bule yang usianya hanya 5 tahun lebih tua dariku itu, “Sama siapa?”
“Sendirian aja Pap,” ucapku yang lalu cipika cipiki dengan ayah tiriku yang usianya 13 tahun lebih muda daripada Mama itu.
Memang nasib Mama terbalik kalau dibandingkan denganku. Mas Adit yang usianya 45 tahun menikah denganku yang baru 25 tahun. Sedangkan Mama yang usianya 43 tahun malah bersuamikan Papa Edgar yang usianya baru 30 tahun.
Pada waktu menikah dengan lelaki bule berbadan tinggi besar yang sudah WNI itu, usia Mama sudah 40 tahun. Sementara lelaki bernama Edgar itu baru berusia 27 tahun. Berarti pada saat aku sedang hamil muda ini, Papa Edgar baru 30 tahun, sementara Mama sudah 43 tahun. Dan Mas Adit dua tahun lebih tua daripada mertuanya (Mama).
“Lho… Mama mana Pap?” tanyaku setelah mencari Mama ke kamarnya tidak ada.
Papa yang sedang duduk di sofa ruang keluarga menyahut, “Baru aja mau ngasih tau, Mama lagi ke Semarang. Biasa… lagi ngurus bisnisnya. Kenapa tadi gak nelepon dulu sama Mama?”
“Tadinya aku mau ngasih surprise sama Mama. Makanya gak nelepon dulu,” sahutku sambil duduk dengan sikap manja di samping ayah tiriku yang penyabar itu. Aku bahkan merebahkan kepalaku di atas kedua paha lelaki bule itu.
Aku tahu seluk beluk bisnis Mama, yang terkadang harus berangkat ke luar provinsi untuk mengurusnya. Aku juga tahu bahwa bisnis Mama itu dimodali oleh Papa Edgar. Karena Papa Edgar menanam saham di sebuah perusahaan besar. Lalu hasilnya mengalir terus ke tangan Papa, tanpa harus ikut - ikutan sibuk di perusahaan itu.
“Besok malam juga Mama pulang. Tidur aja di sini daripada capek bolak - balik. Mau ngasih surprise apa sama Mama?” tanya Papa.
“Aku lagi hamil muda Pap.”
“Haaa?! Kamu belum kelihatan hamil. Udah berapa bulan hamilnya?”
“Baru mau tiga bulan. Memang belum kelihatan. Makanya aku belum pakai baju hamil.”
“Seneng denger kamu hamil,” ucap Papa sambil mengusap-usap rambutku, “Aku keduluan sama kamu. Mama belum hamil - hamil juga.”
“Di usia segitu masih bisa hamil Pap?”
“Masih bisa. Tapi pada waktu melahirkan, mungkin harus dicezar, supaya aman.”
“Oh iya… Tante Miriam juga tempo hari melahirkan lagi anak ketiganya. Umur Tante Miriam kan cuma setahun lebih muda dari Mama.”
“Temanku juga banyak yang melahirkan di usia lebih dari empatpuluh tahun.”
“Tapi Papa pasti ingin merasakan nikmatnya perempuan yang sedang hamil ya.”
“Itu juga salah satu keinginanku, di samping ingin punya keturunan juga.”
“Ohya… nanti kalau aku tidur di sini di kamar mana Pap?”
“Kamar kamu kan masih ada. Belum pernah dipakai sama orang lain.”
“Kalau Yudah pulang, di mana tidurnya?”
“Di kamar paling depan itu. Kan Yudah kamarnya di situ.”
Mendadak aku teringat pada adikku satu - satunya itu, yang kuliahnya di Surabaya. “Yudah kapan selesai kuliahnya Pap?”
”Skripsinya udah selesai. Tinggal nunggu sidang aja. Kalau lulus, tahun ini juga diwisuda,” sahut Papa sambil membelai rambutku dengan lembut.
“Syukurlah. Setelah diwisuda dia kan bisa langsung kerja, karena sudah ada perusahaan besar yang akan merekrut dia.”
Aku terdiam. Sambil menikmati lembutnya belaian Papa Edgar. Mungkin kelembutannya itu karena merasa aku ini seperti anak kandungnya, meski usianya cuma lebih tua 5 tahun dariku.
Tapi… lagi - lagi fantasi liarku menggoda lagi. Apakah ini karena aku ngidam, atau karena sudah terbiasa digauli oleh Dimas dengan seizin suamiku? Entahlah. Yang jelas aku mulai membayangkan seandainya Papa menyetubuhiku… ooooh… kenapa aku jadi membayangkan hal gila itu? Kenapa aku malah membayangkan penis bule yang belum pernah kurasakan?
Memang gila. Tapi kemudian aku berkata, “Pap… pengen nyobain vagina wanita hamil nggak?”
“Haa?” Papa menatapku, “Mama kan belum bisa hamil juga.”
“Aku mau kok disetubuhi sama Papa, sebagai ganti Mama…”
Papa menatapku lagi. Seperti tak percaya pada pendengaranku sendiri.
“Mau nggak Pap? Kalau mau, aku mau nginap di sini sekarang. Tidurnya bersama Papa.”
“Mau Sayang. Tapi nanti jangan sampai Mama tau ya.”
“Ya iya lah. Aku juga takut kalau ketahuan Mama sih. Ini rahasia kita berdua aja Pap. Soalnya aku pengen juga ngerasain penis bule… hihihiii…” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Papa.
Papa mengangkat dan membopong tubuhku ke dalam kamarnya. Lalu diletakkannya tubuhku dengan hati - hati di atas bed yang biasa dipakai oleh Papa dan Mama.
Di situlah Papa menggumuliku disertai bisikan, “Sebenarnya sejak lama aku menunggu kesempatan baik ini. Tapi baru sekarang bisa terwujud… dalam keadaan sedang hamil muda pula.”
Aku cuma tersenyum. Padahal aku sejak Papa Edgar menikah dengan Mama, aku jadi sering membayangkan tentang sesuatu yang belum pernah kulihat di alam nyata… tentang bentuk batang kemaluan lelaki bule…!
Kini aku akan menyaksikannya seperti apa kontol bule itu. Dan akan menikmatinya, seperti apa rasanya digenjot oleh kontol bule itu.
Ternyata Papa Edgar tak cuma lembut membelai rambutku, tetapi juga terasa hangat waktu mencumbuku. Dan kalau kunilai secara kasat mata, Papa Edgar lebih “berbobot” daripada Dimas yang masih terlalu lugu itu.
Ketika aku sudah tinggal mengenakan beha yang bersatu dengan korset berwarna hitam, Papa Edgar tak sabaran lagi untuk menjilati memekku yang kebetulan habis dicukur gundul. Padahal dia masih mengenakan celana jeans dan baju kaus hitam.
Aku pun menggeliat - geliat dibuatnya. Karena Papa terlalu trampil dalam menjilati kemaluanku. Bahkan ketika ia menjilati kelentitku, dua jari tangannya pun diselundupkan ke dalam liang memekku.
Oooohhh… aku tergetar - getar dalam amukan nafsu birahiku yang mulai tak terkendalikan ini.
Pada waktu Papa Edgar melepaskan celana jeans dan celana dalamnya, aku pun langsung menangkap kontol bulenya yang panjang dan gede sekali, tapi belum benar - benar ngaceng.
Aku pun sering melihat dari bokep, bahwa orang bule selalu harus dimulai dengan permainan oral. Senang mengawali ML dalam posisi doggy pula.
Maka dengan tangan agak gemetaran kupegang penis Papa. Dan lalu kujilati leher serta moncongnya. Kemudian kumasukkan ke dalam mulutku.
Aku sudah cukup tram, pil dalam hal oral - oralan sih. Karena Mas Adit juga baru bisa ereksi setelah kuoral dulu abis - abisan.
Tapi penis yang sedang kuoral ini sungguh beda… baik warnanya mau pun ukurannya. Penis Papa Edgar ini… gede bingit…!
Tapi hal itu pula yang membuatku sangat bersemangat untuk mennyedot dan menggelutinya dengan lidah di dalam mulutku. Sambil mengalirkan air liur ke badan penis putihnya. Air liur ini sangat berguna, karena aku pun menggunakan jemariku untuk mengurut - urutnya.
Dalam tempo singkat saja penis putih panjang gede itu sudah benar - benar tegang. Maka aku pun melepaskan beha korset hitamku, lalu aku menungging di atas kasur.
Papa Edgar pun mengerti. Mungkin dia senang, karena orang bule sangat suka mengentot dalam posisi doggy atau sambil berdiri membelakanginya. Kesimpulannya, mereka sangat suka mengentot dari belakang.
Dalam keadaan hamil muda begini, memang posisi doggy ini termasuk aman bagiku. Karena perutku takkan tergencet oleh perut Papa Edgar.
Lalu kurasakan penis panjang gede itu menyelusup ke dalam liang kewanitaanku.
“Ooooohhhh… Papaaaaa… ini enak sekali Paaaap… “rintihku ketika penis Papa sudah mulai mengentot liang memekku…!
Papa memang trampil sekali mengentotku dalam posisi doggy begini. Sambil mengayun penisnya yang berada di dalam liang kewanitaanku, Papa bisa menggerayangi memekku dan lalu mencari - cari kelentitku. Kemudian ia mengentotku sambil mengelus - eluskan ujung jarinya ke kelentitku.
Tentu saja elusan di titik yang paling sensitif itu membuatku kleyengan dalam nikmat tiada tara. Terlebih karena sentuhan itu dilakukan pada saat penis panjang gedenya tengah menyodok - nyodok liang kewanitaanku yang sudah basah licin ini.
“Papa… oooohhhh… Papaaaa… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Paaaap… enak sekali Paaap… entot terus Paaap… entooooottttt… iyaaaa Paaaaap… ooooohhhh… Papaaaaa… Papaaaaa…”
Genjotan penis panjang gede itu terkadang disertai dengan remasan - remasan di pantatku. Terkadang juga kedua tangan Papa merayap ke arah sepasang payudaraku. Lalu meremas - remasnya seolah gemas. Bahkan terkadang Papa menarik - narik rambutku sambil mengayun penisnya di liang memekku.
Lalu Papa menawarkanku untuk bermain dalam posisi WOT. Aku setuju saja, karena posisi itu termasuk aman juga buat kehamilanku.
Papa mencabut penisnya, lalu menelentang. Kemudian aku berlutut sambil memegang penis Papa, yang moncongnya kuarahkan ke mulut vaginaku. Lalu kuturunkan bokongku, sehingga penis gede itu pun melesak masuk ke dalam liang memekku.
Kini giliranku untuk aktif menaik turunkan bokongku, dengan sendirinya kewanitaanku pun naik turun. Membuat penis Papa seolah maju mundur di dalam cengkraman liang kewanitaanku, padahal memekku yang bergerak turun naik.
Namun posisi ini membuatku cepoat mencapai puncak kenikmatanku. Karena rahimku turun, sehingga terus - terusan bersundulan dengan moncong penis Papa.
Akibatnya… aku ambruk diiringi rengekan manjaku, “Papaaaaaa…”
Ya… posisi WOT ini membuatku terlalu cepat mencapai orgasme. Lalu aku ambruk ke atas dada Papa Edgar.
Tapi sesaat kemudian, aku sudah celentang, sementara Papa sudah berluitut sambil mengarahkan moncong zakarnya ke mulut kemaluanku. Sementara kedua belah pahaku Papa dorong agar mengangkang selebar mungkin, bahkan lalu menumpang di atas kedua paha Papa.
Sambil berlutut Papa membenamkan kembali penisnya ke dalam liang memekku yang sudah basah ini (akibat orgasmeku tadi).
Lalu mulailah Papa mengayun kembali penis panjang gedenya.
Tampaknya tubuh Papa sudah kemerahan dan berkeringat. Bahkan keringatnya mulai berjatuhan di atas perutku. Bahkan ada juga yang jatuh di leher dan wajahku. Tapi aku malah bernafsu kembali untuk meladeni kejantanan ayah tiriku itu. Malah ketika keringatnya berjatuhan di bibirku, sengaja kujulurkan lidahku untuk menjilatinya, lalu menelannya.
Di bawah kekuasaan nafsu, aku tidak lagi merasa jijik pada keringat Papa. Bahkan pada suatu saat aku berkata, “Pap… sini… Papa telungkupi aja badanku. Papa kan bisa gunakan sikut Papa untuk menahan, agar perut Papa tidak menggencet perutku.”
“Iya, iyaaaa…” sahut Papa sambil bergerak menelungkupiku, sementara kedua sikutnya menekan kasur, untuk menahan agar perutnya tidak menggencet perutku.
“Nah… kalau begini, Papa kan bisa mengentotku sambil mencium bibirku, menjilati leherku, mengemut pentil toketku dan sebagainya…” ucapku sambil mengusap - usap pipi Papa yang kemerahan dan basah oleh keringat.
Dengan menahan badannya dengan kedua sikutnya, perut Papa hanya bertempelan dengan perutku, tapi tidak terasa menggencet perutku.
Dalam keadaan seperti ini, Papa malah bisa menciumi bibirku bertubi - tubi. Biosa menjilati leherku dan mengemut pentil toket kiriku sambil meremas - remas toket kananku.
Ini semua terasa indah sekali. Sehingga aku pun merintih dan merengek lagi di dalam arus nikmatku. “Papa… oooooohhhh… penis Papa luar biasa enaknya Paaaaap… ooooohhhhh… terasa sekali menggwesek - gesek liang memekku Paaap… ooooohhhhh… entot terus Paaap… entooot teruuuusssss… entoootttt …
“Aku juga makin sayang sama kamu Lus,” sahut Papa tanpa menyetop entotannya.
Makin lama entotan Papa semakin gencar rasanya. Sementara aku merintih, mengerang, merengek sambil menggeliat - geliat. Dalam arus nikmat yang luar biasa rasanya.
Tubuh Papa pun semakin basah oleh keringatnya, yang bercampur aduk dengan keringatku.
Pada suatu saat Papa berbisik terngah, “Davira Sayang… ini lepasin di mana? Di dalam apa di luar?”
Aku ingin memberikan kesan yang takkan terlupakan oleh Papa Edgar. Karena itu aku menjawab, “Di dalam mulutku aja Pap. Aku akan menelan sperma Papa sampai habis. Sebagai tanda sayangku pada Papa.”
Papa Edgar menggencarkan entotannya. Lalu mencabut kontol panjang gedenya dari dalam memekku. Kemudian ia bergerak cepat, berlutut dengan sepasang lutut di kanan kiri leherku. Sementara penisnya dikocok - kocok, dengan moncong yang sudah berhadapan dengan mulutku.
Sebenarnya detik - detik ini adalah detik - detik orgasmeku yang kedua. Maka ketika aku menarik penis Papa ke dalam mulutku, lalu menyedot - nyedotnya sekuatku… liang memekku terasa berkedut - kedut reflex.
Pada saat yang sama moncong penis Papa memuntahkan lendir pejuhnya di dalam mulutku.
Croootttt… croooootttt… crottttt… crooooottttttt… crootttt… croooottt…!
Begitu banyak sperma yang termuntahkan dari moncong penis Papa.
Jujur, aku poernah menelan air mani Mas Adit dan air mani Dimas. Tapi sperma mereka tidak sebanyhak sperma Papa ini.
Walaup pun begitu, dalam keadaan sedang menikmati orgasmeku sendiri, kutelan habis sperma Papa yang menggenang di dalam mulutku, tak kusisakan setetes pun…!
“Aduuuuh… sungguh ini pengalaman yang terindah di dalam hidupku,” ucap Papa sambil merebahkan diri di sampingku, lalu membelai rambutku yang basah oleh keringat ini.
Aku pun duduk sambil memegang penis Papa yang sudah lemas. “Buatku juga, ini pengalaman yang terindah Pap,” ucapku sambil menciumi penis Papa.
Papa menyahut, “Mungkin seharusnya kamu jadi istriku, Mama harusnya berpasangan dengan suamimu. Karena umurku cuma lima tahun lebih tua darimu, sementara usia Praditya kan lebih tua dari Mama. Hahahaaaa…”
“Biar aja Papa tetap dengan Mama, aku tetap bersama Mas Adit. Yang penting kita kan bisa melakukannya di belakang mereka.”
“Iya. Sampai kamu hamil di atas tujuh bulan juga, aku tetap ingin merasakan your pussy. Malah semakin perutmu buncit, buatku bakal semakin seksi.”
Kemudian kami mandi bareng di bawah semprotan air hangat shower.
Pada saat itulah Papa menuturkan alasan kenapa menikahi Mama. Pertama, Papa ingin bisa lebih cepat jadi WNI. Terbukti setelah menikah dengan Mama, beberapa bulan kemudian surat kewarganegaraan Papa pun terbit.
“Selain daripada itu, Mama giat berbisnis kecil - kecilan. Sedangkan aku banyak uang yang harus diputar, jangan hanya didiamkan di bank belaka. Mungkin Mama pernah cerita padamu, bahwa aku ini pemegang saham nomor dua terbesar pada sebuah perusahaan asing di Jakarta.”
“Iya, aku pernah dengar hal itu dari Mama. Lalu Papa memberikan modal yang cukup banyak kepada Mama. Sehingga bisnis Mama pun semakin melebar ke beberapa provinsi.”
“Iya… begitulah.”
Malam itu Papa menyetubuhiku sekali lagi. Kemudian kami tertidur dengan nyenyaknya.
Esoknya, pagi -pagi sekali aku sudah mandi dan keramas. Lalu pamitan kepada Papa untuk pulang.
“Lho kenapa pagi - pagi benar sudah mau pulang?” Tanya Papa seperti berat melepaskan kepergianku.
“Takut Mama keburu pulang. Takut banyak pertanyaan. Nanti gak usah dilaporkan kalau aku ke sini ya Pap.”
“Iya, iya… tunggu dulu sebentar, “Ppa bergegas masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian papa memberikan sesuatu padaku. Sehelai cek yang nominalnya membuatku terlongong.
“Untuk apa ini Pap?” tanyaku heran.
“Buat beli mobil, supaya jangan pakai taksi lagi kalau ke sini.”
Tentu saja aku terkejut waktu melihat nominal yang tertera di cek itu. “Tapi… yang lagi hamil muda kan gak boleh nyetir Pap,” ucapku.
“Cairkan saja ceknya, lalu masukkan ke rekening tabunganmu. Beli mobilnya setelah melahirkan juga gak apa - apa.”
“Papa… kok Papa baik banget sih?” ucapku sambil menyandarkan pipiku ke dadanya.
“Itu sekadar tanda sayangku padamu, Lus. Tapi jangan ngomong apa - apa sama Mama.”
“Iya Pap. Terima kasih… beribu - ribu terimakasih Pap. Aku akan simpan uangnya di rekening tabunganku. Biar jangan bikin heboh nanti, baik dari pihak Mama mau pun dari pihak Mas Adit.”
Lalu aku meninggalkan rumah Papa Mama dengan perasaan senang bercampur haru.
Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya.
Sampai pada suatu hari…
Pada hari itu Mas Adit berkata padaku, bahwa besok ada tugas mendadak dari kantornya. Dia harus terbang ke Kalimantan. Dan kemungkinan bisa sebulan dia akan berada di Kalimantan.
“Berarti selama sebulan aku harus sendirian di rumah Mas?” cetusku bernada protes.
“Kalau mau tinggal di rumah mamamu sampai aku pulang, gak apa - apa,” ucap suamiku.
“Nggak mau ah. Udah punya rumah sendiri masa harus numpang di rumah Mama.”
“Dari pagi sampai sore kan ada pembantu. Bagaimana kalau dia disuruh tidur aja di sini selama sebulan?”
“Takkan maui Mas. Si Tinem kan punya suami. Kalau janda sih bisa aja kusuruh nginep di sini sampai Mas pulang dari Kalimantan nanti.”
“Apa gak bisa ngajak mama adek tidur di sini selama aku berada di Kalimantan?”
“Aku kan pernah bilang sama Mas… Mama itu punya bisnis yang gak bisa ditinggalkan begitu aja. Susah ngajak Mama sih.”
Mas Adit seperti berpikir beberapa saat. Sampai kemudian dia mengeluarkan handphonenya. Lalu memijit nomor yang telah disaving di ponselnya.
Lalu Mas Adit memijat icon speaker, untuk mengeluarkan suara orang yang sedang diteleponnya.
“Hallo Yan… kamu sehat?”
“Sehat. Papa dan Mama juga sehat kan?”
“Sehat. Kamu bakal punya adek lagi nanti Yan. Mama sedang hamil muda. Baru tiga bulanan sih hamilnya. Sekitar enam bulan lagi baru melahirkan.”
“Hehehee… seneng dengernya. Aku bakal punya adek bayi nanti.”
“Ohya… kamu kapan bakal liburan panjang?”
“Tanggal satu Pa.”
“Tanggal satu besok?”
“Iya Pa. Liburannya cukup lama. Sebulan penuh.”
“Kebetulan! Kamu jangan maen ke mana - mana. Pulang ke rumah papa aja ya. Soalnya papa besok mau terbang ke Kalimantan. Selama sebulan papa di sana. Kasian Mama tuh, lagi hamil malah ditinggal sendirian.”
“Iya Pa. Aku juga sedang siap - siap mau pulang ke rumah Papa. Malah tiket kereta apinya sudah beli nih. Kebagian yang siang berangkatnya dari Gambir. Sekitar jam empat sore besok tiba di rumah Papa.”
“Syukurlah kalau begitu. Besok pagi papa sudah terbang ke Kalimantan. Berarti Mama cuma sendirian dari pagi sampai sore aja.”
Setelah menutup hubungan seluler dengan anak sulungnya, Mas Adit berkata padaku, “Jadi besok malam sudah ada teman tuh.”
“Yang Mas telepon barusan Yanu kan?”
“Iya. Yang manggil papa sama aku kan cuma Yanu dan Kendo,” ucap Mas Adit yang disusul dengan kecupan di pipiku.
Besok paginya Mas Adit berangkat ke bandara, diantarkan oleh mobil perusahaan.
Tinem datang sejam kemudian. “Selamat pagi Bu. Bapak sudah berangkat?” tanyanya.
“Udah, sejam yang lalu,” sahutku, “Ohya Nem… suamimu pencemburu nggak?”
“Sangat pencemburu Bu. Saya bekerja di sini aja tiap sebentar ngirim sms. Nanya lagi di mana dan sebagainya. Terkadang suka video call, supaya yakin bahwa saya sedang berada di rumah Ibu.”
“Ogitu ya. Suamimu bekerja di mana?”
“Cuma buruh pabrik Bu. Gajinya juga gak lebih besar dari gaji saya di sini. Hehehe…”
Aku cuma tersenyum menanggapinya. Memang aku selalu bersikap sebaik mungkin kepada pembantuku itu. Biar dia kerasan bekerja di rumahku. Mencari pembantu yang tekun bekerja di satu rumah sangat sulit di zaman sekarang ini.
Tadinya di rumahku tidak ada pembantu. Semua urusan rumah kukerjakan sendiri. Tapi sejak sebulan yang lalu Mas Adit mendatangkan pembantu untuk bekerja di rumahku. Untuk mempersiapkan kalau aku sudah melahirkan nanti. Karena kalau aku sudah melahirkan, pasti banyak pakaian anak yang harus dicuci tiap hari, katanya.
Yang menarik dari pembicaraanku dengan Tinem barusan adalah, suaminya pencemburu. Sedangkan Mas Adit sebaliknya.
Tamat